Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan
kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk
gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di
pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda.
Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa
mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah
seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di
hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam
kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang
terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun
yang menyimpan kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat
melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau
berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap
rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi
tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang
mengawal dan melindungi kebaikan.
Cinta adalah kata tanpa benda, nama
untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari kekuatan tak
terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam The
Art of Loving~ tidak tertarik ~atau juga tidak sanggup~ mendefinisikannya.
Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.
Tapi juga terlalu rumit untuk
disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau
sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang sejarah masa.
Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi,
Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah
legenda Romeo dan Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau Cinderela. Abadilah
Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.
Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas
kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi
manusiawi, dengan detail-detail nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh
yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai
peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit.
Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para
pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang
melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya.
Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang
melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati sayap-sayap patahnya.
Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya.
Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada
detail-detail nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar
pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.
Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh
badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam
kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat
dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat, Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh
haru biru. Padatmakna. Sarat gairah. Dan, anagonis.
Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh
penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara
kerjanya. Cara kerjanya itulah definisi: karena ~kemudian~ semua keajaiban
terjawab disini.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentarnya..
Salam Beramal