Hari raya setelah berakhrnya bulan suci, selalu diwarnai oleh aksi
berbagi rezeki. Terutama dari kalangan dewasa kepada anak-anak sebagai
hadiah. Karena itu pemandangan yang sering kita lihat menjelang Idul
Fitri banyak orang yang menawarkan jasa penukaran uang di pinggir jalan.
Mereka siap membantu memecah lembaran uang yang nominalnya lebih besar
dengan uang receh, tapi dengan nilai yang tidak sama.
Misal: satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang
pecahan seribu rupiah (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar
(Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar uang seratus ribuan
(Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total Rp105.000)
ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak
100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba?.
Benar, penukaran uang sejenis (seperti rupiah dengan rupiah) dengan
nilai tak sama seperti fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya.
Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat
kesamaan nilai.
Perlu diketahui penukaran uang sejenis wajib
memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya mubah. Namun
jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena
kelebihan/tambahan yang ada adalah riba.
Dua syarat tersebut
adalah : Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas
(al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).
Kedua, harus ada
serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni maksudnya harus
kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang
dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal.
155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi,Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).
Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus
sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan
(kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah
berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama
saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).
Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus
semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan
dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya,
juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim
no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Dari dua hadits di
atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu
emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan
sebagai berikut.
Dari hadits Abu Said al-Khudri (hadits
pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis
(misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan
(at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail).
Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “mitslan bi mitslin”, yakni dalam
penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus
dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya
tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).
Kedua, harus ada serah
terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal
ini didasarkan pada bunyi hadits “yadan bi yadin” (dari tangan ke
tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf
al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika
terjadi penundaan (al-ta`jil).
Dari hadits Ubadah bin Shamit
(hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak
satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau
tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara
kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadits “idza kaana yadan biyadin”
(jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi,
Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).
Dalil-dalil di atas berlaku
pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada
emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena
Qiyas, melainkan karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai
mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani,
an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)
Dengan demikian,
untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau
dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama
nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk
penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS),
syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin
an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi,
Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa
Atsaruhu, hal. 23).
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa
haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan uang receh
ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya
tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan
Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.
Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan
(Rp100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total nilainya
Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh
sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal
ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang jelas
merupakan riba yang haram hukumnya.
Namun yang berdosa bukan
hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena
menurut hadits, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan
transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa menambah
(yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak
penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang
memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).
Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi SAW:
“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat
bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu?” Rasulullah menjawab,’Syirik,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali
dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari
dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang
baik-baik.” (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89)
Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda :
“Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling
ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu
kandungnya sendiri.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau
berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim
meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian
kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula
oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).
Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih
besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225.
Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadits ini shahih menurut
syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. LihatSilsilah Al-Ahadits
al-Shahihah, II/29).
Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua
menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran
uang receh yang tidak senilai ini.
Sudah saatnya umat Islam
menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab
jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan
keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab
Allah. Sabda Rasulullah SAW :
“Jika telah merajalela zina dan riba
di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka
untuk menerima azab Allah.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37.
Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam
Dzahabi).
Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena
diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan,
kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun
azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam. (M. Shiddiq al-Jawi).
Demikianlah penjelasan Riba Tersembunyi Menjelang Idul Fitri yang patut
kita waspadai. Jangan sampai niat untuk berbuat baik, terkotori oleh
perbuatan yang justru melanggar syariat. Semoga kita dijauhkan dari
transaksi ribawi.
Sumber : Akun fb Pengusaha Tanpa Riba